Oleh: Rajuan Jumat/Mahasiswa Antropologi Sosial Unkhair
Jelang magrib, kompleks menjadi sunyi. Listrik-listrik dipadamkan tatkala ritual pengantaran “Dumai” (obat tradisional) digelar pada Selasa malam yang berlokasi di Pulau Maitara, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Ritual yang berlangsung setiap tiga bulan sekali dalam setahun itu mengundang orang sekampung untuk datang menghayati dan menyaksikan secara langsung. Terlebih lagi anak-anak di usia dini. Barangkali lewat pengalaman langsung seperti ini mereka jadi penerus ritual ke depannya. Orang-orang tua pun tak mau ketinggalan. Laki atau perempuan semuti rumah obat yang luas ruangannya mencapai 3×4 meter persegi. Mereka diam di situ amati ritual yang tengah berlangsung. Sesekali hanya terdengar desus sesama mereka: badiam, jang baribut!.
Dalam ritual Dumai, tuak yang disadap dari pohon aren disajikan sebagai jamuan bagi mereka yang turut berpartisipasi dalam pengantaran Dumai. Tuak ini dipasok dari Tidore satu hari sebelum ritual digelar.
Tuak dihidangkan bersamaan dengan belasan buah pinang, siri, bunga cempaka, dan lilitan tembakau yang dijadikan sesajean untuk Simo Lamo (orang besar tak kasat mata) yang dipercaya oleh warga setempat sebagai pelindung dan penjaga pulau Maitara. Ritual ini juga dimaksudkan untuk menolak segala bala – penyakit dan semacamnya.
Di tengah desus suara dan kepulan asap kemenyan yang memenuhi seisi ruangan, salah seorang tetua kampung melontorkan pertanyaan untuk memastikan siapa saja yang terlibat: “Nage-nage yang mote re?” (siapa-siapa yang ikut). Pertanyaan itu langsung disambut oleh Paman (40) “Fanggare se Iki, Arjuna, Ambo, se Adi…” (saya dan Iki, Arjuna, Ambo dan Adi) jawab Paman dalam bahasa Tidore.
Dalam pengantaran obat tradisional itu, tiap-tiap kelompok terdiri dari 5, 7, atau 9 orang. Tergantung dikali ke berapa obat Dumai sudah digelar. Saya yang waktu itu berpartisipasi mengikuti prosesi yang kedua pada Selasa (14/12/2021) malam, bergabung dengan keenam orang lainnya. Kelompok kami berjumlah 7 orang. Dua di antaranya adalah orang tua, sisanya anak muda. Ada yang masih duduk di bangku SMP, SMA, ada juga yang sudah kuliah. Saya salah satunya.
Setelah lama menunggu, tuak pun disaring ke dalam mangkuk putih kecil lalu diteguk bergilir –berpindah tangan dari satu ke tangan yang lain. Saya pun kebagian. Dua mangkuk sari nira itu meresap ke kerongkongan. Rasanya asam, tapi nikmatnya bikin tambah. Barangkali, tuak disadap dari tangan yang tepat. Seperti kata Alfred Russel Wallace yang pernah berkunjung ke Makassar di tahun 1856 dan sempat peneguknya beberapa kali “Kalau dibuat dengan benar, tuak terasa sangat menyegarkan,” ketus sang naturalis.
Dalam rekaman sejarah, minuman beralkohol seperti tuak, ada juga yang menyebutnya arak, atau ‘ballo’ kata orang Makassar, atau ‘saguer’ di beberapa tempat mengenalnya. Maluku Utara juga menyebut saguer, disuling dari empat jenis pohon palem: aren, lontar, nipah, dan pohon kelapa. Keempat hasil sadapan ini kerap dihidangkan dalam berbagai ritual adat.
Eko Rusdianto, penulis buku Tragedi di Halaman Belakang: Kisah Orang-orang Biasa dalam Sejarah Kekerasan Sulawesi (2022) mengungkapkan “Ballo menjadi minuman penting di Sulawesi. Dalam pelbagai ritual adat seperti kematian, kelahiran, dan pernikahan, ballo selalu tersaji. Anak muda dan orang tua meneguknya dengan gembira. Ballo dinikmati tanpa menciptakan kelas sosial dan menembus sekat-sekat …”
Serupa dengan Eko Rusdianto, di tahun-tahun yang lampau, beberapa kerajaan Islam di Nusantara penganutnya menjadikan minuman beralkohol sebagai pelengkap acara. Bahkan ada beberapa kerajaan Islam yang menjadikan minuman beralkohal sebagai ukuran kesopanan. Kerajaan Ternate sempat berada di fase itu. Sebagaimana yang ditulis Galvao pada medium 1544 “Tentang pesta-pesta di Ternate muslim, mereka tidak pernah minum air. Mereka menganggap minum air tidak sopan, sedangkan tegak dalam keadaan mabuk dianggap beradap…” (dalam Anthony Reid, 2014).
Meneguk minuman beralkohol yang satu ini membuat saya teringat dengan masa kecil di mana papa sering memberikan segelas saguer di siang hari saat berada di kebun. Papa di masa itu menjadi penyadap tuak yang handal. Hasil sadapannya digemari orang banyak. Terlebih lagi anak muda. Hampir setiap hari kala petang, anak muda mendatangi papa bergantian dan tak lupa membawakan rokok, gula dan kopi. Imbalan dari pemberian itu semua adalah memperoleh saguer gratis – satu atau dua botol pelastik aqua. Setelah adik tunggal perempuan saya Fatma J. Sangaji lahir, papa berhenti produksi saguer hingga sekarang.
Di tengah kehadiran aneka macam minuman beralkohol saat ini, sageur mulai tersingkir. Bahkan tidak sedikit yang memberi lebel sageur sebagai “minuman setan” karena begitu meneguknya beberapa liter orang jadi salah tingkah. Disenggol sedikit langsung timbul perkara. Itulah kenapa muncul berbagai larangan memproduksi sageur. Bahkan beberapa waktu yang lalu pohon utama minuman ini dibakar oleh petugas keamanan karena dianggap mengganggu kenyamanan. Padahal, kalau kita tilik dalam sejarah, sageur memiliki peran dalam kehidupan sosial masyarakat.
Baik Eko maupun Galvao, menenggak minuman beralkohol seperti tuak dari pohon palem memiliki korelasi dengan berbagai unsur kebudayaan pada suatu masyarakat. Hal itu diungkapkan oleh D. Horton, seorang ahli sosiologi yang terinspirasi dengan metode penelitian komparatif cross-cultural dari para pendekar antropolog Amerika Serikat. Ia menjelaskan “fungsi minuman beralkohol dalam pelbagai kebudayaan berkaitan dengan upacara agama, upacara sosial, sopan-santun tanda keramahan dalam pergaulan resmi maupun tidak resmi, atau upaya untuk meningkatkan keramaian berkumpul …” (Koentjaraningrat, 2007).